BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SEMANTIK DAN MAKNA
Saat
kita berada di sebuah pasar tradisional yang penuh sesak dengan para penjual
dan pembeli, sesekali waktu kita akan menemukan penjual mainan yang mengatakan
“sayang anak… sayang anak”. Secara
kasat, apa yang diujarkan oleh penjual tersebut tidak mewakili apa yang sedang
ia jual. Tetapi kita sebagai pembeli langsung memahami, apabila ada yang
mengucapkan kata tersebut, pasti ia sedang menjual mainan untuk anak-anak.
Contoh
lain ketika kita sedang bersantai duduk di sofa rumah, kemdian kita mendengar
suara “ting..ting..ting” (suara
mangkok yang dipukul dengan sendok), maka kita akan langsung mengetahui bahwa
ada penjual bakso yang sedang melewati daerah sekitar rumah kita.
Bagaimana
kita bisa langsung memahami hal-hal semacam itu? Jawabannya adalah sebuah
pemaknaan. Kita sebagai mahluk hidup selalu berusaha untuk mencari makna akan
segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Begitu pula dalam kebahasaan.
Kata-kata “sayang anak” mengacu pada sebuah satuan makna yaitu menyayangi anak
kita sendiri (pada kalimat ini terjadi sebuah proses ellipsis – peleburan kata.
Dalam kaidah bahasa, seharusnya kalimat tersebut berbunyi “sayangilah anak
anda!” yang merupakan sebuah kalimat perintah). Menyayangi anak bisa melalui pemberian
perhatian, cinta, dan lainnya. Dalam tataran selanjutnya, memberikan perhatian
kepada anak bisa saja mengacu kepada pemberian mainan.
Dari
contoh yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat jelas bila kehadiran
sebuah makna atau arti, tidak dapat disangkal lagi, akan menjadi bagian dari
suatu kondisi manusia yang hidup dan berpikir. Ilmu yang mempelajari tentang
makna adalah semantik.
Aminuddin
(2008) menjelaskan bahwa semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani,
mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis,
semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa
makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari
linguistik.
Makna adalah unsur yang menyertai aspek bunyi, jauh
sebelum hadir kegiatan komunikasi. Sebagai unsur yang melekat pada bunyi, makna
juga senantiasa menyertai sistem relasi dan kombinasi bunyi dalam satuan
struktur yang lebih besar seperti yang akhirnya terwujud dalam kegiatan
komunikasi.
Menurut Wijana dan Rohmadi (2011) ada berbagai jenis
makna di dalam bahasa yang secara dikotomis dibedakan menjadi beberapa macam.
Penggolongan makna-makna ini dilihat dari sudut pandang yang berbedabeda.
Adapun jenis-jenis makna itu adalah:
1) Makna
Leksikal dan Makna Gramatikal
2) Makna
Denotatif dan Makna Konotatif
3) Makna
Literal dan Makna Figuratif
4) Makna
Primer dan Makna Sekunder
2.2. MAKNA PRIMER
Larson
(1988) membedakan makna menjadi dua, yaitu makna primer dan makna
sekunder. Makna primer adalah makna yang
dipelajari sejak kecil dan terkandung dalam sebuah kata jika kata itu digunakan
tersendiri. Makna primer merupakan makna pertama yang muncul dalam pikiran dan
cenderung mempunyai referensi ke situasi fisik.
Menyikap
lanjuti bahwa makna primer dapat dikatakan secara sederhana sebagai makna yang
sebenarnya, maka makna-makna yang dapat digolongkan sebagai makna primer ada
tiga, yaitu makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal. Berikut adalah
uraian mengenai makna tersebut.
2.2.1.
Makna Leksikal
Leksikal
adalah
bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon ( vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari
leksikon adalah leksem, yaitu satuan
bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau
perbendaharaan kata, maka leksem
dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat
diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat
kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang
sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra,
atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Makna
leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks
apapun.
Makna leksikal dari
suatu kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang
dilambangkan kata itu. Makna leksikal suatu kata sudah jelas bagi seorang
bahasawan tanpa kehadiran kata itu dalam suatu konteks kalimat. Misalnya,
leksem jaran memiliki makna leksikal ‘ sejenis binatang berkaki empat
yang biasa dikendarai’; potlot bermakna leksikal ‘ sejenis alat tulis
yang terbuat dari kayu dan arang’; dan toya bermakna leksikal ‘ sejenis
barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari’. Jadi, dengan
adanya contoh di atas dapat dikatakan juga bahwa makna leksikal adalah makna
yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indera kita,
atau makna apa adanya. Makna leksikal juga merupakan makna yang ada
dalam kamus karena kamus-kamus dasar biasanya hanya memuat makna
leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya.
Makna
leksikal atau makna semantik, atau makna eksternal juga merupakan makna kata
ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau berimbuhan yang
maknanya kurang lebih tetap seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa
tertentu. “Makna leksikal ini dipunyai unsur bahasa-bahasa lepas dari
penggunaannya atau konteksnya (Harimurti, 1982: 103). Veerhar (1983; 9)
berkata, “………sebuah kamus merupakan contoh yang tepat dari semantik leksikal:
makna tiap-tiap kata diuraikan di situ” (Mansoer Pateda, R, 2002: 119)
2.2.2.
Makna Denotatif
Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional,
makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada
dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi
penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut
penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalamaan lainnya. Jadi,
makna denotatife ini menyangkut informasi-informasi factual objektif. Lalu
karena itu makna denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya”.
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau
makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini
sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata bawi atau celeng bermakna denotatif “ sejenis
binatang yang biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya”. Kata tegeh
bermakna denotatif “ keadaan tubuh seseorang yang lebih tinggi dari ukuran yang
normal”. Contoh lain umpamanya kata luh dan lua kedua kata
ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa yang bukan
laki-laki.
2.2.3. Makna Literal
Makna
literal merupakan makna yang belum mengalami perpindahan penerapan kepada
referen yang lain (Wijana&Rohmadi, 2011:16). Kata buaya pada kalimat “Ring Danau Beratan wenter buaya sane ageng pisan.” mengacu kepada referennya yang harfiah,
yaitu sebangsa binatang melata berkaki empat yang hidup di rawa dan di sungai.
Pada kata tersebut, makna yang tercantum secara lugas dan harfiah mengacu pada
referennya. Oleh sebab itu makna ini disebut dengan makna literal, makna lugas, ataupun makna harfiah.
2.3. MAKNA SEKUNDER
Sebagaimana
pendapat Larson (1988) pada pembahasan sebelumnya, beliau membedakan makna
menjadi dua, yaitu makna primer dan makna sekunder. Apabila makna primer merupakan makna pertama
yang muncul dalam pikiran dan cenderung mempunyai referensi ke situasi fisik,
maka makna sekunder itu sendiri sering disebut makna ke-dua. Makna satuan
kebahasaan yang hanya dapat diidentifikasikan lewat konteks pemakaian bahasa
itulah yang disebut makna sekunder.
Menyikap
lanjuti bahwa makna sekunder dapat dikatakan secara sederhana sebagai makna ke-dua,
maka makna-makna yang dapat digolongkan sebagai makna sekunder antara lain, makna
gramatikal, makna konotatif, dan makna figuratif. Berikut adalah uraian
mengenai makna tersebut.
2.3.1.
Makna Gramatikal
Berbeda dengan
makna leksikal, makna gramatikal adalah makna yang hadir
sebagai akibat adanya proses gramatikal, seperti proses afiksasi, proses
reduplikasi, dan proses komposisi. Makna gramatikal itu dikenali dalam
kaitannya dengan unsur yang lain dalam satuan gramatikal. Contoh makna gramatikal akibat
afiksasi adalah mamargi, tegehan,
katundung, jagura, matekap, dan yang lain sebagainya.
Antara makna leksikal dan makna gramatikal, memiliki
keterkaitan. Kata-kata dalam makna leksikal, dapat menjadi makna gramatikal.
Perhatikan contoh berikut ini:
(a)
jaran (leksikal) (b) majaranan (gramatikal)
Contoh yang pertama (a) merupakan kata dasar yang
belum mengalami perubahan. Berdasarkan kamus KBBI makna kata “jaran” adalah semacam binatang berkaki
empat yang biasa dipakai pacuan. Sedangkan contoh kedua (b) merupakan kata
turunan atau kata yang telah mengalami gramatikalisasi. Contoh yang kedua (b)
mempunyai arti yang berbeda dengan makna yang pertama (a) meskipun kata
dasarnya sama, yaitu jaran.
Penambahan konfiks pada kata “jaran”
membuat makna jaran berubah menjadi tidak
sekedar semacam binatang berkaki empat yang biasa dipakai pacuan tetapi berubah
menjadi melakukan pacuan menunggangi semacam binatang berkaki empat yang biasa
dipakai pacuan.
2.3.2. Makna Konotatif
Berbeda halnya
dengan makna denotatif
yang mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau
leksem, makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna
denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok
orang yang menggunakan kata tersebut. Konotasi adalah Nilai
emotif yang terdapat pada suatu bentuk kebahasaan. Konotasi ini sebenarnya bisa
berupa positif dan negatif, hanya saja lebih banyak yang mengartikannya kearah
negatif. Untuk menjelaskan konsep makna konotasi itu disajikan contoh sebagai
berikut:
Dalam
bahasa bali terdapat kata mati, bangka,
seda, padem. Semua kata itu memiliki makna ‘seseorang yang sudah hilang nyawanya’
akan tetapi karena nilai rasa, kata itu digunakan secara berbeda. Kata bangka ditujukan kepada orang yang
dibenci. Misalnya ‘ Madak ci pang enggal
Bangka!’. Kata bangka di atas
bermakna ‘sudah hilang nyawanya + kebencian’. Jadi, kata Bangka memiliki makna konotasi negatif atau memiliki nilai rasa
yang lebih kasar. Sedangkan kata seda
dan padem pun masing-masing bermakna
leksikal ‘sudah kehilangan nyawanya’ tetapi digunakan untuk menunjukkan rasa
hormat kepada seseorang. Misalnya:
‘ I
Gusti Ngurah Rai seda ring medan perang.’
‘
Ida sampun padem.’
Kata seda dan padem sama-sama
bermakna ‘sudah hilang nyawanya + rasa hormat’. Jadi kata seda dan padem memiliki
makna konotasi positif atau memiliki nilai rasa bahasa yang lebih halus. Nilai
rasa pada makna kata tersebut dapat divisualkan dalam bentuk dars bilangan
seperti berikut ini :

Makna konotasi - makna leksikal makna konotasi +
2.3.3.
Makna Figuratif
Berbeda
halnya dengan Makna literal yang belum mengalami perpindahan penerapan kepada
referen (acuan) sebenarnya, makna figuratif adalah makna yang telah mengalami
pergeseran pada acuannya. Menindak lanjuti contoh pada makna literal yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka pada pembahasan makna ini juga akan digunakan contoh yang sama, yakni buaya. Buaya dalam konteks pembahasan sebelumnya memiliki acuan
sebagai sebangsa binatang melata berkaki empat yang hidup di rawa dan di
sungai. Mari kita lihat dari contoh kalimat berikut.
“Di Badung liu sajan ada buaya darat.”
Kata buaya
pada kalimat di atas telah mengalami pergeseran acuan setelah mendapat tambahan
kata darat. Kata buaya yang awalnya berarti sebangsa binatang melata berkaki empat
yang hidup di rawa dan di sungai, telah berubah menjadi laki-laki yang suka
bergonta-ganti pasangan. Makna bentuk kebahasaan yang menyimpang dari
referennya tersebutlah yang biasa disebut makna figuratif.
DAFTAR
PUATAKA
Subandijah.
Pengembangan dan Inovasi Kurikulum.
Yogyakarta: PT Raja Grafindo Prasada. 1992
Sukmadinata,
Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1997
Sanjaya,
Wina. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar