om swastyastu

om swastyastu
om swastyastu.. selamat datang..

Senin, 20 Mei 2013

MAKNA PRIMER DAN MAKNA SEKUNDER

MAKNA PRIMER DAN SEKUNDER DALA SEMANTIK




BAB II
PEMBAHASAN

2.1. SEMANTIK DAN MAKNA
Saat kita berada di sebuah pasar tradisional yang penuh sesak dengan para penjual dan pembeli, sesekali waktu kita akan menemukan penjual mainan yang mengatakan “sayang anak… sayang anak”. Secara kasat, apa yang diujarkan oleh penjual tersebut tidak mewakili apa yang sedang ia jual. Tetapi kita sebagai pembeli langsung memahami, apabila ada yang mengucapkan kata tersebut, pasti ia sedang menjual mainan untuk anak-anak.
Contoh lain ketika kita sedang bersantai duduk di sofa rumah, kemdian kita mendengar suara “ting..ting..ting” (suara mangkok yang dipukul dengan sendok), maka kita akan langsung mengetahui bahwa ada penjual bakso yang sedang melewati daerah sekitar rumah kita.
Bagaimana kita bisa langsung memahami hal-hal semacam itu? Jawabannya adalah sebuah pemaknaan. Kita sebagai mahluk hidup selalu berusaha untuk mencari makna akan segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Begitu pula dalam kebahasaan. Kata-kata “sayang anak” mengacu pada sebuah satuan makna yaitu menyayangi anak kita sendiri (pada kalimat ini terjadi sebuah proses ellipsis – peleburan kata. Dalam kaidah bahasa, seharusnya kalimat tersebut berbunyi “sayangilah anak anda!” yang merupakan sebuah kalimat perintah). Menyayangi anak bisa melalui pemberian perhatian, cinta, dan lainnya. Dalam tataran selanjutnya, memberikan perhatian kepada anak bisa saja mengacu kepada pemberian mainan.
Dari contoh yang telah dikemukakan di atas, maka terlihat jelas bila kehadiran sebuah makna atau arti, tidak dapat disangkal lagi, akan menjadi bagian dari suatu kondisi manusia yang hidup dan berpikir. Ilmu yang mempelajari tentang makna adalah semantik.
 Aminuddin (2008) menjelaskan bahwa semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik.
Makna adalah unsur yang menyertai aspek bunyi, jauh sebelum hadir kegiatan komunikasi. Sebagai unsur yang melekat pada bunyi, makna juga senantiasa menyertai sistem relasi dan kombinasi bunyi dalam satuan struktur yang lebih besar seperti yang akhirnya terwujud dalam kegiatan komunikasi.
Menurut Wijana dan Rohmadi (2011) ada berbagai jenis makna di dalam bahasa yang secara dikotomis dibedakan menjadi beberapa macam. Penggolongan makna-makna ini dilihat dari sudut pandang yang berbedabeda. Adapun jenis-jenis makna itu adalah:
1)      Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
2)      Makna Denotatif dan Makna Konotatif
3)      Makna Literal dan Makna Figuratif
4)      Makna Primer dan Makna Sekunder


2.2. MAKNA PRIMER
Larson (1988) membedakan makna menjadi dua, yaitu makna primer dan makna sekunder.  Makna primer adalah makna yang dipelajari sejak kecil dan terkandung dalam sebuah kata jika kata itu digunakan tersendiri. Makna primer merupakan makna pertama yang muncul dalam pikiran dan cenderung mempunyai referensi ke situasi fisik.
Menyikap lanjuti bahwa makna primer dapat dikatakan secara sederhana sebagai makna yang sebenarnya, maka makna-makna yang dapat digolongkan sebagai makna primer ada tiga, yaitu makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal. Berikut adalah uraian mengenai makna tersebut.
2.2.1. Makna Leksikal
Leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon ( vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun.
Makna leksikal dari suatu kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan kata itu. Makna leksikal suatu kata sudah jelas bagi seorang bahasawan tanpa kehadiran kata itu dalam suatu konteks kalimat. Misalnya, leksem jaran memiliki makna leksikal ‘ sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’; potlot bermakna leksikal ‘ sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’; dan toya bermakna leksikal ‘ sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari’. Jadi, dengan adanya contoh di atas dapat dikatakan juga bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil  observasi indera kita, atau makna apa adanya. Makna leksikal juga merupakan  makna yang  ada dalam  kamus karena kamus-kamus dasar biasanya hanya  memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya.
Makna leksikal atau makna semantik, atau makna eksternal juga merupakan makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu. “Makna leksikal ini dipunyai unsur bahasa-bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Harimurti, 1982: 103). Veerhar (1983; 9) berkata, “………sebuah kamus merupakan contoh yang tepat dari semantik leksikal: makna tiap-tiap kata diuraikan di situ” (Mansoer Pateda, R, 2002: 119)
2.2.2. Makna Denotatif
          Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalamaan lainnya. Jadi, makna denotatife ini menyangkut informasi-informasi factual objektif. Lalu karena itu makna denotasi sering disebut sebagai “makna sebenarnya”.
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata bawi atau celeng bermakna denotatif “ sejenis binatang yang biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya”. Kata tegeh bermakna denotatif “ keadaan tubuh seseorang yang lebih tinggi dari ukuran yang normal”. Contoh lain umpamanya kata luh dan lua kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa yang bukan laki-laki.
2.2.3. Makna Literal
Makna literal merupakan makna yang belum mengalami perpindahan penerapan kepada referen yang lain (Wijana&Rohmadi, 2011:16). Kata buaya pada kalimat “Ring Danau Beratan wenter buaya sane ageng pisan.” mengacu kepada referennya yang harfiah, yaitu sebangsa binatang melata berkaki empat yang hidup di rawa dan di sungai. Pada kata tersebut, makna yang tercantum secara lugas dan harfiah mengacu pada referennya. Oleh sebab itu makna ini disebut dengan makna literal, makna lugas, ataupun makna harfiah.


2.3. MAKNA SEKUNDER
Sebagaimana pendapat Larson (1988) pada pembahasan sebelumnya, beliau membedakan makna menjadi dua, yaitu makna primer dan makna sekunder.  Apabila makna primer merupakan makna pertama yang muncul dalam pikiran dan cenderung mempunyai referensi ke situasi fisik, maka makna sekunder itu sendiri sering disebut makna ke-dua. Makna satuan kebahasaan yang hanya dapat diidentifikasikan lewat konteks pemakaian bahasa itulah yang disebut makna sekunder.
Menyikap lanjuti bahwa makna sekunder dapat dikatakan secara sederhana sebagai makna ke-dua, maka makna-makna yang dapat digolongkan sebagai makna sekunder antara lain, makna gramatikal, makna konotatif, dan makna figuratif. Berikut adalah uraian mengenai makna tersebut.
2.3.1. Makna Gramatikal
Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal, seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Makna gramatikal itu dikenali dalam kaitannya dengan unsur yang lain dalam satuan gramatikal. Contoh makna gramatikal akibat afiksasi adalah mamargi, tegehan, katundung, jagura, matekap, dan yang lain sebagainya.
Antara makna leksikal dan makna gramatikal, memiliki keterkaitan. Kata-kata dalam makna leksikal, dapat menjadi makna gramatikal. Perhatikan contoh berikut ini:
(a) jaran (leksikal)                                     (b) majaranan (gramatikal)
Contoh yang pertama (a) merupakan kata dasar yang belum mengalami perubahan. Berdasarkan kamus KBBI makna kata “jaran” adalah semacam binatang berkaki empat yang biasa dipakai pacuan. Sedangkan contoh kedua (b) merupakan kata turunan atau kata yang telah mengalami gramatikalisasi. Contoh yang kedua (b) mempunyai arti yang berbeda dengan makna yang pertama (a) meskipun kata dasarnya sama, yaitu jaran. Penambahan konfiks pada kata “jaran” membuat makna jaran berubah menjadi tidak sekedar semacam binatang berkaki empat yang biasa dipakai pacuan tetapi berubah menjadi melakukan pacuan menunggangi semacam binatang berkaki empat yang biasa dipakai pacuan. 
     
2.3.2. Makna Konotatif
Berbeda halnya dengan makna denotatif yang mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Konotasi adalah Nilai emotif yang terdapat pada suatu bentuk kebahasaan. Konotasi ini sebenarnya bisa berupa positif dan negatif, hanya saja lebih banyak yang mengartikannya kearah negatif. Untuk menjelaskan konsep makna konotasi itu disajikan contoh sebagai berikut:
Dalam bahasa bali terdapat kata mati, bangka, seda, padem. Semua kata itu memiliki makna ‘seseorang yang sudah hilang nyawanya’ akan tetapi karena nilai rasa, kata itu digunakan secara berbeda. Kata bangka ditujukan kepada orang yang dibenci. Misalnya ‘ Madak ci pang enggal Bangka!’. Kata bangka di atas bermakna ‘sudah hilang nyawanya + kebencian’. Jadi, kata Bangka memiliki makna konotasi negatif atau memiliki nilai rasa yang lebih kasar. Sedangkan kata seda dan padem pun masing-masing bermakna leksikal ‘sudah kehilangan nyawanya’ tetapi digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada seseorang. Misalnya:
 I Gusti Ngurah Rai seda ring medan perang.’
‘ Ida sampun padem.’
Kata seda dan padem sama-sama bermakna ‘sudah hilang nyawanya + rasa hormat’. Jadi kata seda dan padem memiliki makna konotasi positif atau memiliki nilai rasa bahasa yang lebih halus. Nilai rasa pada makna kata tersebut dapat divisualkan dalam bentuk dars bilangan seperti berikut ini :
Bangka                           mati                       seda              padem

    Makna konotasi -            makna leksikal                makna konotasi +

2.3.3. Makna Figuratif
Berbeda halnya dengan Makna literal yang belum mengalami perpindahan penerapan kepada referen (acuan) sebenarnya, makna figuratif adalah makna yang telah mengalami pergeseran pada acuannya. Menindak lanjuti contoh pada makna literal yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pada pembahasan makna ini juga akan digunakan  contoh yang sama, yakni buaya. Buaya dalam konteks pembahasan sebelumnya memiliki acuan sebagai sebangsa binatang melata berkaki empat yang hidup di rawa dan di sungai. Mari kita lihat dari contoh kalimat berikut.
“Di Badung liu sajan ada buaya darat.
Kata buaya pada kalimat di atas telah mengalami pergeseran acuan setelah mendapat tambahan kata darat. Kata buaya yang awalnya berarti sebangsa binatang melata berkaki empat yang hidup di rawa dan di sungai, telah berubah menjadi laki-laki yang suka bergonta-ganti pasangan. Makna bentuk kebahasaan yang menyimpang dari referennya tersebutlah yang biasa disebut makna figuratif.
 
 



DAFTAR PUATAKA

Subandijah. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Yogyakarta: PT Raja Grafindo Prasada. 1992
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1997
Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar